Merunut Sejarah Konflik Partai Golkar


JAKARTA, KOMPAS - Kisruh kepengurusan Partai Golkar yang berlarut-larut selama 1,5 tahun terakhir tampaknya mulai menggerus keyakinan publik terhadap partai beringin ini. Jika tak ada penyelesaian yang memadai, partai besar yang pernah menguasai politik Indonesia ini bisa bergeser menjadi parpol gurem.

Sepanjang sejarah era reformasi, suksesi kekuasaan politik Partai Golkar sebetulnya tidak selalu adem-ayem. Tarik-menarik kepentingan senantiasa mewarnai pergeseran penguasaan elite di parpol beringin.

Konflik terbaru yang muncul ke publik adalah perebutan legitimasi kepengurusan partai antara kubu Munas Ancol pimpinan Agung Laksono dan kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie.

Perbedaan tarikan kepentingan politik menjadi asal terjadinya dua versi munas Partai Golkar tersebut. Pokok persoalan yang digugat kubu Munas Ancol adalah ketidakmampuan Golkar mengusung calon presiden ataupun wakil presiden sendiri. Posisi Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden Joko Widodo saat itu justru diusung partai lain. Oleh karena itulah, tokoh-tokoh kubu Munas Ancol, yaitu Agung Laksono, Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Priyo Budi Santoso, menamakan diri "Tim Penyelamat Partai Golkar".

Saling gugat antara kedua kubu berlangsung dalam periode sepanjang 2015. Keputusan Mahkamah Partai Golkar pun bersifat mendua. Empat hakim Mahkamah Partai memberikan keputusan mendua, dua hakim memenangkan munas kubu Ancol, sementara dua lainnya meminta kubu Ancol menerima kubu Munas Bali. Sampai dengan awal 2016 ini, konflik kedua kubu masih runcing.

Pada Senin, 11 Januari 2016, Agung Laksono dan Aburizal Bakrie dipanggil menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Namun, selepas pertemuan itu, perbedaan cara pandang kedua pihak dalam penyelesaian konflik masih terlihat jelas. Agung Laksono menyatakan bahwa penyelesaian konflik akan dilakukan dengan sebuah "Musyawarah Nasional (Munas) Bersama", sementara Aburizal Bakrie menyatakan bahwa Munas Bersama bukan bentuk yang dikenal AD/ART partai.

Soliditas dan konflik

Konflik Partai golkar bukanlah fenomena baru. Di masa lalu, konflik internal semacam ini berakhir dengan terbentuknya partai-partai "replika" dari Partai Golkar, seperti Partai Demokrat, PKP Indonesia, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem. Konflik kali ini belum menampakkan ujung yang jelas, apakah akan berakhir dengan kepengurusan terbentuknya partai baru atau lainnya. Skala konflik kali ini juga tampaknya cukup meluas melibatkan komponen elite pendiri Partai Golkar hingga level simpatisan.

Beragam asumsi bisa diajukan sebagai penyebab berlarutnya konflik di tubuh partai beringin. Sejumlah pendapat menyorot spirit pragmatisme partai yang kuat kepada kekuasaan politik. Lemahnya ideologisasi parpol di tengah kuatnya sistem demokrasi yang dikembangkan para kader Golkar menjadi titik lemah partai beringin.

Pendapat lain menunjuk tidak adanya figur atau tokoh karismatik yang mampu menjadi simbol sekaligus pemersatu partai yang disegani sebagaimana masa lalu. Pada era Orde Baru, peran sentral Presiden Soeharto telah membuat ratusan komponen masyarakat penyusun Golkar menjadi padu dan solid. Pasca reformasi, patron politik kuat semacam itu hilang.

Awal Golkar didirikan berupa Sekretariat Bersama (Sekber) pada 20 Oktober 1964 dengan tak kurang 53 serikat buruh dan organisasi pegawai negeri, 10 organisasi intelektual, 10 organisasi pelajar dan mahasiswa, 5 organisasi perempuan, 4 asosiasi media, serta 2 organisasi petani dan nelayan.

Jika ditelusuri, saat Orde Baru berkuasa pun Sekber Golkar tidak luput dari pertarungan politik internal. Tak lama setelah G30S terjadi, perwira-perwira militer dan pimpinan sipil yang dekat dengan Presiden Sukarno disingkirkan digantikan oleh kalangan pro Jenderal Soeharto.

Prestasi yang didulang Golkar pada era keemasan Orde Baru memang terlihat mencolok. Pada Pemilu 1977 Golkar meraih 62,1 persen, Pemilu 1982 menggaet 63,9 persen suara, Pemilu 1987 naik mendapatkan 73,1 persen, dan Pemilu 1992 meraih 68,1 persen.
Kemenangan itu bisa terjadi. Sebab, selama Orde Baru, Golkar solid dengan didukung tiga pilar utama: militer, birokrasi, dan teknokrat. Pada Pemilu 1999, Partai Golkar menempati urutan kedua dengan meraih 35,7 juta suara (22,5 persen) dan menempatkan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung sebagai ketua DPR. Kekokohan Partai Golkar dalam politik Indonesia dibuktikan dengan kembali menjadi partai pemenang Pemilu Legislatif 2004, Partai Golkar meraih 24,4 juta suara (21,58 persen).

Konflik era reformasi

Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang diselenggarakan pada 11 Juli 1998 di Jakarta menjadi ajang pertarungan politik paling keras sejak Golkar didirikan. Munaslub itu memperebutkan posisi ketua umum Golkar menggantikan Harmoko.

Posisi ketua umum dimenangi politisi sipil, Akbar Tandjung, dengan mengalahkan calon dari militer, Jenderal Edi Sudradjat. Pertentangan yang cukup tajam mengakibatkan keluarnya Edi Sudrajat dan beberapa tokoh Golkar dari kubu Edi Sudrajat yang tergabung dalam Kosgoro.

Mereka kemudian mendirikan partai baru, Partai Keadilan dan Persatuan, yang dideklarasikan pada 15 Januari 1999. Keluarnya kubu Edi Sudrajat diikuti terpecahnya organisasi yang menjadi onderbouw Golkar, MKGR. Di bawah pimpinan Mien Sugandhi, MKGR menjadi partai politik baru. Beberapa pucuk pimpinan organisasi massa Pemuda Pancasila juga membentuk parpol baru Partai Patriot Pancasila dipimpin Yapto S Soerjosoemarno.

Konflik lainnya terekam dalam pilpres putaran pertama 2004. Golkar mencalonkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, sementara Jusuf Kalla memilih berduet dengan capres partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Kondisi ini menciptakan perpecahan dalam tubuh Golkar.

Jusuf Kalla diberhentikan sebagai Penasihat DPP Partai Golkar dan sembilan pengurus Partai Golkar dipecat. Alasannya, Jusuf Kalla dan sembilan fungsionaris lain dianggap tidak mematuhi keputusan rapat pimpinan partai. Sebagai catatan, sejak berdiri tahun 1964 dalam bentuk Sekber Golkar, belum pernah ada pemecatan massal seperti itu.

Hasil akhir Pilpres 2004 memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kemenangan ini rupanya menjadi arus balik pendulum politik Golkar sekaligus menunjukkan pragmatisnya partai ini. Saat Munas VII Partai Golkar di Bali, 16-19 Desember 2004, Jusuf Kalla mengalahkan Akbar Tandjung dalam perebutan jabatan Ketua Umum Golkar periode 2004-2009. Kemenangan Jusuf Kalla dalam posisi menjadi wakil presiden ini mengukuhkan idiom Golkar sebagai partai yang lekat kekuasaan.

Opini publik

Pertentangan di level elite pengurus Partai Golkar sejauh ini ditengarai menjadi konsumsi elite atau ormas pendukung Golkar. Level masyarakat di akar rumput agaknya tidak terlalu berpengaruh pada elektabilitas partai.

Sejumlah penjajakan hasil survei memperlihatkan elektabilitas parpol ini malah sedikit beranjak seiring konflik yang terjadi. Survei yang diselenggarakan pada awal 2015, misalnya, memperlihatkan tingkat elektabilitas Golkar yang berada di angka 7,1 persen. Pada survei triwulanan selanjutnya angka itu membaik menjadi 9,6 persen, bahkan 11,2 persen pada Oktober 2015. Posisi partai ini juga tetap bertahan di peringkat ketiga setelah PDI-P dan Partai Gerindra.

Meski demikian, dalam ajang kontestasi kepala daerah di Pilkada Serentak 9 Desember 2015, terbukti akibatnya sama sekali berbeda. Perpecahan kepengurusan ini membuat buyar kemenangan pasangan calon kepala daerah dari Golkar. Dari total 12 pasangan calon kepala daerah yang diajukan Golkar, tak satu pun yang mampu meraih kemenangan. Bandingkan dengan kemenangan PDI-P yang mencapai 14 dari 23 pasangan calon yang diajukan sendiri. Kemenangan memang diraih di ratusan basis Golkar, tetapi kemenangan ini diraih dengan berkoalisi bersama parpol lain.

Dari penelusuran di sejumlah daerah pelaksanaan pilkada serentak, perpecahan di level pengurus ini membuyarkan pola dukungan simpatisan atas calon yang diusung. Kader Golkar yang berafiliasi dengan kubu Munas Ancol versi Agung Laksono, misalnya, mendukung calon kepala daerah yang berbeda dengan calon yang diusung calon kubu Munas Bali. Padahal, sejumlah wilayah bisa disebut sebagai wilayah beringin, terutama di kawasan Jawa Barat bagian utara, Sulawesi Selatan, dan Sumatera bagian utara.

Membandingkan pencapaian elektoral Golkar di level nasional dan level lokal, terlihat bahwa ada gejala perbedaan akseptabilitas oleh publik terhadap kader partai beringin. Di satu sisi bisa jadi menggambarkan negasi yang mulai ditampakkan publik terhadap keberadaan partai yang dipandang pragmatis kekuasaan ini, tetapi bisa jadi juga sebaliknya.

Dalam arti, cara pandang publik pada eksistensi Golkar dan kadernya memang berbeda antara level lokal dan nasional. Terlebih untuk level nasional ada beragam aspek yang memengaruhi pemilih, mulai dari variasi tokoh, sejarah kedekatan simbol Golkar (identifikasi partai), romantika Golkar (aspek psikologis), hingga pertimbangan sosiologis.

Betapapun, satu hal memang sudah jelas terlihat dari konflik partai kakap ini. Buyarnya soliditas dan makin menurunnya citra di mata publik ujung-ujungnya akan merugikan partai beringin.

Jajak pendapat telepon Kompas beberapa waktu lalu menengarai, bukan sosok Agung Laksono ataupun Aburizal Bakrie yang dinilai mampu menyelesaikan konflik. Butuh tokoh kuat Golkar di luar kedua sosok itu yang mampu merangkai kembali partai beringin yang semakin hari kian koyak diempas egoisme kepentingan itu. (Litbang Kompas) 
Oleh: M Toto Suryaningtyas
Previous
Next Post »
Thanks for your comment