Manuver Rusia di Suriah bagaikan raksasa lama tidur mendadak menggeliat. Awal September 2015, pesawat pengintai Amerika Serikat memastikan ada ribuan tentara Negeri Beruang Merah berada ribuan kilometer dari Tanah Air mereka. Tepatnya di sekitar Ibu Kota Damaskus, Hama, Aleppo, serta Homs.
Itu adalah kota-kota yang selama ini diguncang pertempuran antara pemberontak dan pasukan pemerintah yang masih loyal pada Presiden Basyar al-Assad. Sang pemimpin Suriah ini sejak lama dikenal sebagai sekutu Rusia.
Ketika dikonfrontir oleh AS, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov beralasan mereka perlu mengamankan pangkalan laut dan udara yang terletak di wilayah Barat Suriah.
Selain mengirim beberapa batalion personel militer, Rusia menyertakan 20 jet dan helikopter tempur. Tidak hanya itu, Rusia kedapatan mengoperasikan sejumlah Drone berkemampuan meluncurkan rudal.
Menurut pengakuan pemerintah Rusia, 12 jet tempur jenis SU-24, 12 unit SU-25, dan empat pesawat patroli turut dioperasikan di Suriah. Alutsista tempur skala masif ini mustahil hanya untuk membela kepentingan pangkalan Rusia di Timur Tengah.
Ada dua skenario utama yang dilansir media Barat, misalnya the Guardian dan Vox. Pertama Rusia memang hanya fokus memerangi ISIS. Kemungkinan lain adalah membantu Assad menyerang pasukan pemberontak yang mayoritas Sunni.
Benar saja, mulai awal Oktober, serangan gencar dimulai. Atas perintah langsung Presiden Vladimir Putin, Rusia menggelar operasi militer besar-besaran melindungi Presiden Suriah Basyar al-Assad dari pelbagai ancaman, khususnya pergerakan militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).
Sejak akhir pekan lalu, jet tempur Rusia jenis Sukhoi Su-34, Su-24M, serta Su-25 telah menyerang obyek vital dikuasai ISIS di Kota Hama, Homs, Idlib, serta Latakia.
AS berusaha keras menoleransi manuver militer Rusia yang tiba-tiba ingin terlibat konflik Suriah setelah nyaris empat tahun 'anteng'.
"Kami tidak akan menjadikan konflik Suriah sebagai perang pengaruh antara AS dan Rusia," kata Presiden AS Barack Hussein Obama akhir pekan lalu.
Tetap saja AS dan sekutunya di Barat mengecam langkah Rusia yang bisa menyebabkan kondisi Suriah memburuk kalau tidak hati-hati. Apalagi jika benar bekas negara komunis ini malah hanya menyerang basis pemberontak anti-Assad tanpa serius membasmi ISIS yang terus merecoki semua pihak.
Analis politik the Independent Patrick Cockburn mengatakan kondisi ini mengkhawatirkan semua pihak. "Tapi kalau Rusia serius menjalankan janjinya, maka keterlibatan mereka bisa mengurangi dampak merusak perang Suriah," tulisnya.
Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius, lebih pesimis lagi. Koalisi utama yang dipimpin Rusia beranggotakan pasukan loyalis Assad, segelintir tentara Irak, serta milisi-milisi Iran. Ini semua adalah kerja sama yang sekilas pro kepentingan negara Syiah di Timur Tengah. Sementara kelompok anti-Assad yang didukung Negeri Paman Sam adalah pasukan dari masyarakat Islam Sunni.
"Ketika muncul perubahan persepsi sebuah konflik yang awalnya perang saudara menjadi perang agama melibatkan kekuatan internasional, dengan aktor seperti Rusia, Iran, dan Amerika, risikonya bakal serius," kata Fabius. Prancis, seperti Inggris dan Kanada, menghendaki Rusia tidak lagi membom daerah disebut-sebut markas ISIS.
Gejolak itu makin nyata, ketika Turki mengklaim kedaulatan udaranya dilanggar jet tempur Rusia. Jet jenis Sukhoi itu memasuki teritori Turki, tepatnya daerah Yayladagi, provinsi Hatay. Angkatan Udara Turki akhirnya bergerak menghalau berbekal armada F-16.
Menteri Luar Negeri Turki Feridun Sinirlioglu mengaku telah menghubungi Menlu Rusia Sergei Lavrov untuk mengeluhkan insiden ini. "Federasi Rusia harus bertanggung jawab untuk setiap insiden yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi," kata Kementerian Luar Negeri Turki.
Turki sejak lama menolak kehadiran Rusia membantu Assad. Turki mendesak keterlibatan Federasi Rusia dibahas bersama oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sikap konfrontatif Turki mengikuti garis sekutu utama mereka di kawasan, Arab Saudi. Ulama-ulama Saudi pekan lalu secara lantang meminta pemuda muslim melawan kehadiran pasukan Rusia di Syam.
"Siapa pun yang mampu dan berada di luar Arab Saudi, untuk memenuhi panggilan jihad agar bergabung ke salah satu kelompok militan memerangi pasukan Rusia," tulis seruan yang ditandatangani 52 ulama Saudi itu, dilansir stasiun televisi Al Arabiya, Senin (5/10).
Gerak cepat Rusia setidaknya membuat sebagian warga Suriah jatuh hati. Mereka mengelu-elukan Presiden Putin karena bergerak konkret mengusir pasukan ISIS yang menambah runyam persoalan perang saudara.
"Penduduk di kota Tartous dan Latakia di Suriah meyakini bahwa operasi militer Rusia melawan kelompok teroris ISIS akan mengakhiri perang negeri mereka," kata jurnalis Lindsey Hilsum yang sempat berada di kedua kota tersebut akhir pekan lalu.
Perang saudara sejak 2011 ini menewaskan lebih dari 200 ribu warga sipil di Suriah. Lebih dari empat juta warga terpaksa pindah, memicu krisis kemanusiaan besar imigran di Eropa beberapa bulan terakhir.
Sementara 18 juta orang lainnya yang bertahan di dalam negeri terancam sejak konflik pertama kali meletup. Situasi makin runyam setelah ISIS datang dari Irak, merebut kota-kota sebelah utara Suriah. ISIS menyerang siapa saja, koalisi barat, pasukan Kurdi, pemberontak Assad, hingga tentara Suriah.
Ketika diwawancarai stasiun televisi Iran, Khabar TV, Presiden Assad berkukuh sudah benar minta bantuan pada Rusia untuk mengusir ISIS. Dia tidak menjawab apakah Rusia akan sekalian membantunya melumpuhkan pasukan pemberontak Sunni sokongan AS.
"Aliansi antara Rusia, Suriah, Irak dan Iran harus sukses atau kawasan ini, tidak hanya satu atau dua negara, akan hancur. Peluang koalisi ini sukses sangat besar," kata Assad
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon