Siapa yang tidak mau memiliki anak sehat dan cerdas. Tetapi, kebanyakan orangtua biasanya hanya mengharapkan buah hatinya cerdas secara akademik, padahal masih banyak aspek kecerdasan lain yang perlu dimiliki anak.
Kecerdasan bukan sekedar kemampuan akademis (IQ), tapi ada juga kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Untuk membentuk generasi bangsa yang sehat dan cerdas, ketiga aspek ini harus seimbang.
Anak yang cerdas adalah anak yang memiliki rasa ingin tahu besar serta mampu menyelesaikan masalah dengan cepat, benar, dan tuntas.
"Banyak anak-anak yang cerdas, IQ-nya sampai 150 tetapi perilakunya tidak baik, tidak punya sopan santun," kata Dr.Ahmad Suryawan, Sp.A, dalam acara media workshop “Membentuk Anak Indonesia Cerdas Berperilaku dan Berperilaku Cerdas,” beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dokter yang akrab disapa Wawan ini mengatakan, orangtua sebaiknya tidak melupakan kecerdasan perilaku anak. Si kecil yang cerdas berperilaku akan memiliki perilaku dengan tujuan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuannya beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi saat ini.
"Misalnya, kalau di rumah anak bebas lari-larian atau loncat sana, loncat sini. Tapi ketika diajak bertamu, ia tahu harus duduk tenang karena itu bukan rumahnya," kata dr.Wawan mencontohkan.
Kecerdasan dan kemampuan si kecil dalam berperilaku sejatinya dapat diprogram dan dibentuk oleh orangtua secara bertahap sejak dini.
Inggried (32), ibu dari Agastya Kayana Althaf (2 tahun 3 bulan), sejak awal bertekad menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang dan tanpa kekerasan agar putranya ini menjadi anak penuh kasih.
"Menurutku penting untuk menciptakan anak yang mudah berempati dengan lingkungannya, sayang dengan sesama, baik teman atau saudara," kata dokter dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini.
Selain itu di rumah ia juga menerapkan disiplin dan mengajarkan sikap tanggung jawab pada hal-hal kecil. "Aga sekarang sudah mulai mau membereskan mainannya, kalau menumpahkan sesuatu ia juga sudah tahu mengambil tisue atau lap. Aga juga mulai terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Mudah-mudahan ini jadi modal untuk hal lebih besar ke depannya," kata wanita yang tinggal di Yogyakarta ini.
Tidak Instan
Mewujudkan generasi yang unggul dan berperilaku cerdas, serta cerdas berperilaku memang tidak bisa instan. Wawan mengatakan, pemahaman orangtua akan setiap tahapan tumbuh kembang anak akan menuntun orangtua mengetahui nutrisi terbaik dan stimulasi yang harus diberikan sesuai perkembangan usianya.
"Masa awal-lah yang menentukan, dan itu sudah harus dimulai sejak anak dalam kandungan," kata dokter yang menjadi Sekretaris UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia ini.
Sirkuit jaringan otak anak yang akan dipergunakan untuk berperilaku dibentuk secara bertahap. Tatanan tersebut terbentuk sejak di dalam kandungan dan berkembang pesat pada tahun-tahun pertama setelah ia dilahirkan.
Oleh sebab itu sejak mengetahui dirinya hamil, seorang ibu wajib memenuhi kebutuhan zat gizi untuk bayi yang dikandungnya dan terus berlanjut sampai anak dilahirkan.
Ketika anak berusia 2 tahun, sirkuit otaknya sudah terbentuk sekitar 80 persen dan mencapai 90-95 persen ketika ia berusia 6 tahun. Dengan demikian, 6 tahun awal merupakan periode yang sangat penting bagi pembentukan sirkuit otak si kecil. Periode ini disebut juga dengan periode sensitif.
"Pada periode tersebut otak masih sangat responsif terhadap rangsangan dari luar. Kalau dalam 6 tahun pertama aman, seumur hidup akan aman," katanya.
Selama masa tersebut, nutrisi dan stimulasi otak menjadi hal yang amat penting untuk diberikan kepada si buah hati karena ini merupakan masa terbaik untuk segala pembentukan kecerdasan dan perilaku dasar si kecil.
Dengan pola makan bergizi seimbang, bayi akan tumbuh dan berkembang optimal, termasuk kecerdasannya. Jika orangtua tidak memperhatikan periode kritis ini, kegagalan tumbuh kembang akan terjadi dan berlangsung permanen, yang akan terbawa terus hingga akhir hayat
Selain kebutuhan zat gizi, sebagai orangtua kita juga harus cerdas memilih pola asuh yang tepat agar stimulai yang didapat anak lebih maksimal.
"Pola asuh pilihan orangtua akan menentukan bentuk stimulasi yang diberikan, dan ini akan berkontribusi besar terhadap kompetensi sosial, emosional, dan intelektual anak," kata Dr.Rose Mini, psikolog dan pengajar di Universitas Indonesia.
Pola asuh orangtua, menurut psikolog yang akrab disapa Bunda Romi ini, sangat dipengaruhi oleh pola asuh "warisan" orangtua kita dulu, faktor sosial ekonomi, lingkungan sekitar, dan budaya.
Ada empat jenis pola asuh, yakni otoriter, permisif, mengabaikan, dan demokratis. Sebaiknya pola asuh ini dipakai bergantian sesuai situasi dan kondisi, lingkungan, serta kepribadian anak dan orangtua. Pola asuh yang dominan dipakai harus diseimbangkan dengan pola asuh lainnya.
"Misalnya, kalau anak akan melakukan sesuatu yang bahaya semacam meloncat dari jendela, tentu kita harus bersikap otoriter dan melarangnya. Namun, kalau untuk soal memilih baju, misalnya, bisa bersikap demokratis," katanya.
Selain pola asuh, orangtua juga hendaknya menyediakan lingkungan yang baik pada anaknya. "Lingkungan ini mulai dari tontonan televisi, majalah, sampai apa yang diucapkan orangtua dan pengasuh anak, harus dijaga agar bisa memberikan daya imajinasi terbaik," kata Wawan.
Pola asuh dan lingkungan yang penuh kasih sayang akan menjadi bekal terbaik bagi perkembangan emosional anak. Orangtua juga jangan mencela, memberi cap, menyamaratakan, dan menganggap si kecil sebagai objek.
*Semoga Bermanfaat
*Semoga anak Anda memiliki kecerdasan yang tinggi dan perilaku yang baik
*Dikutip dari Kompas
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon