Monica, Wanita Indonesia di Microsoft

 


KOMPAS.com — Jangan salahkan kalau saya skeptis dengan hal yang satu ini. Salah satu agenda dalam rangkaian Microsoft International Underground Tour adalah bertemu dengan "hometown heroes”. Maksudnya, Microsoft akan mempertemukan awak pers peserta tur dengan karyawan yang berasal dari negara masing-masing. Artinya, wartawan Indonesia akan bertemu dengan orang Indonesia yang bekerja di sana.
Pada saat agenda itu disampaikan, beberapa hari sebelum acara, di benak saya lahir asumsi yang boleh dibilang wujud dari berbagai klise soal siapa “orang Indonesia yang kerja di kantor pusat sebuah perusahaan asing”. Pertemuan dengan Monica Harjono di sebuah restoran di kantor pusat Microsoft, Redmond, Washington, AS, seperti hendak mematahkan asumsi tersebut.
Terus terang, sosok yang terbayang di benak saya akan “hometown hero” itu adalah tipikal orang Indonesia lulusan sekolah luar negeri (lebih khusus lagi, lulusan sebuah kampus mahal dan ternama di AS). Namun, yang saya temui adalah seorang wanita luar biasa, dengan logat Surabaya yang tak bisa dimungkiri, serta senyum yang memancarkan kehangatan bagai bertemu sanak-saudara yang sudah lama tak berjumpa.
Dari pertemuan itu saya mengetahui bahwa Monica Harjono adalah arek Suroboyo asli. Lahir dan dibesarkan di “ibu kota kedua” Indonesia, Monica juga menyelesaikan studinya di bidang Akuntansi di Universitas Airlangga, Surabaya. Patah sudah semua asumsi saya bahwa hanya “lulusan luar negeri” yang bisa bekerja di perusahaan sebesar itu. Dan, dengan runtuhnya asumsi itu, saya harus memulai lagi perkenalan dengan Monica dari awal.
Peluang dari Jepang
Monica memulai kariernya di Indonesia, bekerja pada sebuah perusahaan lokal. Sebelum kemudian ia mendapatkan kesempatan ke Jepang. Selama setahun ia tinggal di Jepang dan mempelajari Bahasa Jepang. Sebuah kesempatan emas, karena terbukti penguasaannya atas Bahasa Jepang membuka jalan untuk petualangan selanjutnya.
Sepulang dari Jepang, Monica bekerja di perusahaan MCI WorldCom di Singapura. Tugas utamanya adalah menyediakan dukungan bagi cabang perusahaan itu di Jepang dan Australia. Mereka yang tahu soal sejarah korporasi global mungkin akan mengenal nama itu, ya, WorldCom adalah salah satu perusahaan yang terkenal karena skandal keuangan di tahun 2000-an. Kasusnya (meski tidak terkait) hampir bersamaan dengan kasus Enron.

Monica mengaku teringat masa-masa itu sebagai masa yang cukup menegangkan. Ia ingat bagaimana rekan-rekan di kantornya meributkan hal itu. “Bagaimana ini? kata salah satu rekan saya soal kasus yang sedang menimpa perusahaan. Kami semua saat itu panik, semua berpikir untuk jump the ship,” tuturnya.
Beruntung, Monica kemudian dihubungi oleh head hunter yang menawarkannya pekerjaan di Microsoft, tepatnya di Microsoft Asia Pacific Operations Center di Singapura. Lagi-lagi, pekerjaan ini terkait dengan Jepang. “Tugas pertama saya di Microsoft adalah di bagian Keuangan/Akuntan dengan fokus utama pada operasional di anak usaha Microsoft di Jepang,” tutur Monica saat dihubungi kembali via e-mail.
Di Microsoft, Monica mengaku pandangannya makin terbuka. Ia tidak melulu berurusan dengan akuntansi tradisional, seperti buku besar, debit/kredit, dan semacam itu, tetapi mulai melihat sisi bisnis yang lebih luas. 
“Saya banyak terlibat dalam kegiatan bisnis dan operasional, serta pengambilan keputusan. Hal ini benar-benar membuka mata saya dan membuat saya merasa bisa belajar banyak soal bisnis ini dan di saat yang sama, memberikan nilai tambah dengan sudut pandang keuangan dan bertindak sebagai penasihat yang dipercaya,” tulis Monica.
Monica menyebut tahun pertamanya di Microsoft sebagai sebuah impian yang jadi kenyataan dan pengalaman yang mengubah hidup.
Menemukan cinta di Irlandia
Dalam menjalankan pekerjaannya di Microsoft, Monica juga banyak berhubungan dengan kantor Microsoft di wilayah lain. Bukan hanya di wilayah Asia Pasifik, yang merupakan wilayah operasional utamanya, tetapi juga di lokasi lain.
Salah satunya menghubungkan Monica dengan Microsoft di Irlandia. Di sini Monica berkenalan dengan pria yang kemudian akan menjadi suaminya. “Awalnya ada sebuah proyek, kami mengerjakannya bersama. Dia sebagai engineer-nya dari Irlandia dan saya mendukung di Singapura,” kata Monica.
Setelah 2,5 tahun di Singapura, Monica mengatakan ia kemudian mendapat peluang untuk bekerja di Microsoft European Operations Center di Dublin, Irlandia. Sebuah peluang yang tak disia-siakan, apalagi dirinya sudah memiliki tambatan hati di sana.
“Waktu itu kami memang sudah punya angan-angan untuk menikah,” kenangnya.
Selain mendapatkan keluarga, Monica juga mendapatkan pengalaman baru dari sisi karier. Karena di Dublin ia bukan hanya mengenal Eropa, tetapi juga dinamika operasional dan bisnis Microsoft di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Setelah Dublin, pada 2006 Monica dan suaminya mendapatkan kesempatan untuk bekerja di kantor pusat Microsoft di Redmond. “Kami sangat bersyukur atas kesempatan itu, karena sangat membantu dalam hal pembelajaran dan pengembangan karier,” tulisnya.
Monica mengatakan, Microsoft memang kerap memberikan kesempatan bagi pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja di Microsoft untuk tetap berada di lokasi yang sama. Salah satu rekannya, ia mencontohkan, baru saja berpindah dari Jerman ke Redmond. Tak lama, istrinya juga dicarikan posisi di Kantor Pusat.
Di Redmond, Monica menuturkan ia memegang posisi di bagian keuangan dan mendukung beberapa eksekutif Microsoft di Worldwide Sales, Marketing, and Services Group. Saat ini ia menjabat Senior Finance Manager for WW Enterprise and Partner Group, memberi dukungan langsung pada CVP for WW Public Sector.
11 tahun, 3 benua
Total, karier Monica di Microsoft telah mencapai 11 tahun. Selama itu ia sudah melanglang buana di tiga benua. Pengalamannya itu dikatakan Monica membuatnya bisa merasakan betapa beragamnya manusia.
“Kita harus menyesuaikan diri dengan orang dari berbagai bangsa, yang memiliki kebiasaan dan cara pandang yang sangat berbeda dengan kita. Ada orang yang kalau bicara keras, ada yang tidak biasa mengungkapkan perasaannya di muka umum, macam-macam lah,” ujarnya.
Monica mengatakan, di salah satu bagian kantornya para karyawan bahkan memasang sebuah peta dunia lalu menunjukkan dari belahan bumi yang mana mereka berasal. Dari situ, ujarnya, mereka jadi bisa melihat dan saling tahu asal negara masing-masing.
Di Microsoft, Monica mengaku banyak belajar soal teknologi juga. Dan ia merasakan perubahan Microsoft dari perusahaan yang terfokus pada membuat software untuk PC ke kondisi saat ini, yang menjadi “device and services company”.
Dengan berbekal aplikasi pada perangkat berbasis Windows Phone, misalnya, ia menunjukkan bagaimana karyawan Microsoft bisa melihat ketersediaan shuttle untuk bepergian dari satu gedung ke gedung lain.
Ia juga bercerita bagaimana menggunakan teknologi baru, seperti PowerMap, untuk presentasi dan menampilkan data dengan cara yang sebelumnya tak bisa dilakukan dengan mudah. “Hal-hal teknis juga saya pelajari, walaupun posisi saya di keuangan,” tuturnya.
Apa kabar, Indonesia?
Di waktu senggangnya, Monica senang membaca buku dan bermain piano. Kemampuan bermain piano didapatnya dari mendiang ibundanya yang merupakan seorang guru piano dan telah mengajarkannya cara bermain piano sejak umur tiga tahun.
Karena kedua orangtuanya sudah wafat, Monica mengaku sudah tidak pernah pulang ke Indonesia. Saudara kandungnya pun sudah tidak ada di Indonesia karena telah pindah ke Australia.
Ia pun sangat jarang memiliki kesempatan bertemu sesama orang Indonesia yang bekerja di Microsoft Redmond. “Mungkin satu tahun hanya satu kali,” ujarnya.
Namun, bukan berarti ia jarang bertemu orang Indonesia. Monica mengaku beberapa teman sekolahnya di Surabaya bekerja di perusahaan yang juga berbasis di Seattle, AS. Oleh karena itu, mereka malah cukup rutin bertemu, lebih sering dari bertemu sesama karyawan Microsoft dari Indonesia.
Kegiatan lain Monica adalah fotografi. “I’m a Canon girl,” katanya riang. Dalam hal itu, Monica aktif dalam kompetisi fotografi yang menjadi bagian dari Microsoft Giving Campaign (sebuah program donasi dari karyawan Microsoft di AS).
Salah satu foto karyanya dikatakan telah dimuat dalam buku foto yang dibuat dalam rangka kampanye Microsoft Giving itu. “Semua hasil penjualan buku itu, dan dana yang sama dari perusahaan, akan diberikan pada organisasi amal,” tuturnya.
Ia mengaku sering ingin tahu seperti apa program amal yang ada di Indonesia, serta apakah Microsoft Indonesia terlibat dengan kegiatan amal atau sosial tertentu. Sebuah pertanyaan yang saya jawab dengan ajakan untuk berkunjung pulang ke Indonesia.
Kepada orang Indonesia yang ingin memiliki kesempatan bekerja di perusahaan seperti Microsoft, Monica mengatakan bahwa peluang dan kesempatan itu bisa datang kepada siapa pun. “Kesempatan itu, kita sendiri yang bikin!” tukasnya.
"Lifelong learning"
Berikut adalah cuplikan e-mail dari Monica Harjono yang mampu menyimpulkan kisah hidupnya:
“Saya adalah juga seorang yang percaya sekali pada lifelong learning. Bagi saya pribadi, ini adalah proses yang sangat penting karena saya tidak pernah mendapat kesempatan belajar di luar negeri dan saya belajar tentang kemandirian sesungguhnya sejak usia cukup muda saat ibu saya meninggal (Saya berumur 19 dan adik saya 14).
“Saya selalu berusaha untuk memiliki kemampuan yang relevan, dengan terus-menerus belajar dan menantang diri sendiri tentang hal-hal baru atau mengembangkan kemampuan/ pengetahuan yang saya miliki, juga dengan mengenal teknologi terbaru. Microsoft, lewat penawaran pelatihan internal yang luas, telah sangat mendukung tujuan itu. Saya juga pernah mengikuti sekolah jarak jauh dan belum lama ini mendapatkan sertifikat Certified Management Accounting.
“Waktu sungguh cepat berlalu dan tak terasa saya sudah menghabiskan sebelas tahun terakhir bersama Microsoft. Setelah melampaui 11 tahun, 3 benua, dan 3 negara, saya percaya bahwa masih banyak peluang untuk belajar di dalam Microsoft yang bisa membantu perkembangan dan pertumbuhan karier saya. Untuk hal itu, saya sungguh bersyukur.”
Previous
Next Post »